Kelompok Konservasi Penyu Mino Raharjo adalah lembaga non profit yang bergerak di bidang kelestarian lingkungan terutama pelestarian penyu dan habitatnya di Dusun Patihan, Kalurahan Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
PROFIL KELEMBAGAAN
Diinisiasi oleh beberapa nelayan Patihan yang kemudian diikuti oleh warga masyarakat lainnya yang matapencahariannya berada di pesisir selatan baik itu nelayan, petani, maupun pengelola wisata.
Mulai melakukan kegiatan tahun 2010 dengan peralatan sederhana, dan berhasil memindah tetaskan 300 ekor tukik anak penyu di rumah konservasi penyu Pantai Goa Cemara. Tahun-tahun berikutnya hasil tetas semakin banyak dan kemudian juga didampingi oleh DKP beserta BKSDA DIY dalam proses kegiatannya, termasuk peningkatan kapasitas pengelolaan konservasi.
Semakin berkembang dengan kegiatan kampanye dan sosialisasi, KKP Mino Raharjo juga bekerjasama aktif dengan Dinas Pariwisata melalui program ekowisata.
Dalam pengelolaan dan tehnis lapangan, KKP Mino Raharjo bersinergi penuh dengan Desa Wisata Patihan sebagai pengelola Pantai Goa Cemara, serta dibantu oleh warga masyarakat pesisir dan pemerintah daerah. Sinergi ini didasari lokalitas, karena baik itu anggota Dewa Patih maupun KKP Mino Raharjo berbasis warga masyarakat dusun Patihan, dan semua pengurus KKP Mino Raharjo juga menjadi pengurus aktif di Dewa Patih. Mutualisme hubungan kedua lembaga ini adalah Dewa Patih mendapatkan value branding ekowisata, sementara KKP mendapatkan jaringan kampanye dan sosialisasi serta jaminan operasional konservasi.
SUSUNAN PENGURUS
Kelompok Konservasi Penyu Mino Raharjo Pantai Goa Cemara pada kepengurusannya adalah sebagai berikut :
Ketua : Subagya
Sekretaris : Fajar Subekti
Bendahara : Yatiman
Dibantu oleh 11 anggota aktif yang terbagi menjadi beberapa sub bagian kerja seperti patroli pengamanan, penanganan, pencatatan, pemeliharaan, sosialisasi, guide, dan lain-lain. Didukung oleh peran serta warga anggota Desa Wisata Patihan yang tertuang dalam pasal lingkungan AD/ART Dewa Patih.
NAMA DAN LOGO
Nama Mino Raharjo diambil dari nama kelompok nelayan Mina Raharja di Padukuhan Patihan, karena inisiasi pembentukan kelompok pelestari penyu ini adalah dari nelayan lokal. Dalam bahasa Jawa Mino berarti ikan, dan Raharjo dapat diartikan sebagai keselamatan dan kemuliaan.

Logo KKP Mino Raharjo mempunyai bentuk dasar sebuah rumah menggambarkan Rumah Konservasi, adalah tempat kembali bermigrasinya penyu dewasa dari wilayah teritorinya ke tempat dimana mereka masuk ke laut pertama kali.
Rumah dengan siluet tanda panah ke atas juga menggambarkan pertumbuhan tetasan dan jumlah populasi penyu.
Mozaik hijau dengan bentuk penyu adalah penggambaran bersatunya berbagai elemen untuk melakukan kegiatan pelestarian lingkungan dengan visi misi yang sama yaitu terjaganya populasi penyu. Garis tepi berwarna abu-abu diambil dari warna pasir pantai selatan sebagai habitat pendaratan penyu di lingkungan pesisir selatan Daerah Istimewa Yogyakarta.
VISI MISI KKP MINO RAHARJO
Masyarakat sejahtera yang teredukasi pelestarian sehingga terjamin kelangsungan hidupnya secara berimbang berdampingan dengan alam di pesisir selatan.
Memberikan ajakan dan informasi kepada masyarakat luas bahwa kegiatan pelestarian dapat dilakukan oleh siapa saja, semua umur, semua kalangan, serta dimana saja. Semua lapisan masyarakat mempunyai kebijaksanaan untuk mempertimbangkan keberlangsungan lingkungan dalam setiap lini kehidupannya di semua bidang yang digelutinya.
LEGALITAS
- Keputusan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 188/03745 Tahun 2020 Tentang : Penetapan Kelompok Konservasi Penyu Mino Raharjo Pantai Goa Cemara, Pedukuhan Patihan Desa Gadingsari Kecamatan Sanden Kabupaten Bantul
- Perdes Gadingsari No 6 tahun 2020 tentang pembentukan Masyarakat Penggerak Konservasi Penyu Pantai Goa Cemara
DASAR HUKUM
- Undang-Undeng Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 34 19);
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tnntang Perikanan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahen Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 4433} eebagaimana telah diubah dan ditambah tcrakhir dengan Undang- Undang Nomor 45 Tehun 2009 tentang Perubehan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemberan Negera Republik lndonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Homor 5073);
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonèsia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2);
- Peraturan Pemerintah Nomer 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
- Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikari (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 134);
- Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 9 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2018-2038;
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 17/MEN/ 2008 tentang Kawasan Konservasi di Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2010 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan;
- Keputusan Bupati Bantul Nomor 284 Tahun 2014 Tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Taman Pesisir Di Kabupaten Bantul
LATAR BELAKANG KEGIATAN
Ada banyak hal yang mendorong masyarakat Dusun Patihan untuk melakukan kegiatan pelestarian khususnya di pesisir selatan. Masing-masing dengan motivasi dan kepentingannya sesuai basis kemampuan dan pekerjaannya.
TANGGUNG JAWAB MORAL
Lahir dan tumbuh di Dusun Patihan adalah berkah dari Tuhan, sekaligus harus menerima tanggung jawab sebagai penjaga keberlangsungan lingkungan. Tanah pasir, laut, uap garam, tumbuhan dan hewan, termasuk penyu dan seluruh habitatnya, adalah sesuatu yang harus diteruskan kepada generasi mendatang, seperti yang diwariskan oleh nenek moyang dan pendahulu Patihan.
FAKTA KELANGKAAN PENYU
Di dunia ada 7 jenis penyu, semuanya termasuk kategori langka dan dilindungi. Berdasarkan ketentuan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna), semua jenis penyu laut telah dimasukan dalam appendix I. Data dari IUCN juga menyebutkan tingkat resiko dari penyu-penyu tersebut, mulai dari data Deficient, Vulnerable, Endangered, hingga Critically Endangered.

Beruntungnya, 6 diantaranya terdapat di Indonesia, yakni jenis Penyu hijau (Chelonia mydas), Penyu sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu lekang (Lepidochelys olivacea), Penyu belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu pipih (Natator depressus) dan Penyu tempayan (Caretta caretta). Hanya penyu kempi saja yang tidak ada di Indonesia.
Dan faktanya, 4 dari 6 jenis yang ada di Indonesia pernah dan berpotensi mendarat di pesisir Patihan. Penyu hijau, penyu lekang, penyu sisik, dan penyu belimbing. Bahkan jenis penyu sisik dan penyu belimbing termasuk kritis populasinya. Badan Konservasi dunia IUCN memasukan penyu sisik ke dalam daftar spesies yang sangat terancam punah.
Diantara empat jenis penyu yang mendarat di Pantai Goa Cemara, penyu lekang menempati jumlah terbanyak, lebih dari 95%, rekor di Musim Migrasi Penyu 2024 lebih dari 100 sarang adalah jenis penyu Lekang. Penyu hijau hanya satu dua sarang. Sedangkan penyu Sisik dan penyu Belimbing muncul beberapa tahun sekali.
Dari 7 spesies yang masih ada, 6 spesies masuk dalam family Cheloniidae, dan hanya tersisa Penyu Belimbing saja dari family Dermochelydae. Saking kritisnya populasi, Penyu Belimbing terakhir kali terlihat di Pantai Goa Cemara tahun 2019.
GEOGRAFI DAN GEOLOGI PESISIR SELATAN
Pantai Goa Cemara terletak di Dusun Patihan, Kalurahan Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Propinsi DI Yogyakarta. Yang secara geografis berada persis di tengah dua sungai besar, yakni Sungai Opak di sebelah timur, dan Sungai Progo di sebelah barat.

Dua sungai besar ini membawa material lahar dingin dari erupsi periodik Gunung Merapi, salah satu gunung api paling aktif di dunia.
Batuan lahar yang dimuntahkan terpecah dan terbawa hingga menjadi pasir sampai ke laut selatan, kemudian dihempaskan ombak dan terbawa angin dan membentuk gumuk-gumuk pasir di sepanjang bibir pantai.
Terbentuk dari ratusan tahun yang lalu, membentuk daratan pasir dengan jarak hingga 1200 meter sampai ke perkampungan Dusun Patihan dan kawasan lain sederetan. Tersebar terbawa arus, memanjang dari Parangtritis di Bantul, hingga pesisir Purworejo bahkan Kebumen.
Material pasir halus ini yang kemudian menarik induk-induk penyu untuk mendarat dan bertelur di pesisir setiap musim migrasi.
Hal ini juga didukung oleh posisi pesisir selatan yang berhadapan langsung dengan Samudra Indonesia sebagai jalur migrasi. Iklim tropis yang banyak makanan menjadikan perairan dangkal Samudera Indonesia tempat yang cocok untuk mating atau perkawinan.
Letak Bantul yang sisi timurnya berbatasan langsung dengan pegunungan kidul di Gunungkidul, dengan pantai karang dan pasir putihnya juga menjadikan pesisir Bantul pantai pasir hitam lembut pertama yang ditemui penyu dari jalur timur. Dan menjadi titik terakhir dari jalur migrasi barat.
YOGYAKARTA SEBAGAI SENTRA EDUKASI
Selain sebagai kota budaya dan menjadi destinasi pariwisata favorit, Daerah Istimewa Yogyakarta juga terkenal dengan kota pendidikan. Ada lebih dari 125 perguruan tinggi, dan ribuan sekolah lainnya dengan jutaan siswa. Belum lagi siswa yang menjadikan Yogyakarta sebagai tujuan study tournya. Setiap tahun berulang dengan jutaan siswa baru lainnya. Mereka berhak dan sangat layak mendapatkan informasi tentang penyu dan eksistensi konservasi, dengan harapan kemudian menyebarluaskan kegiatan pelestarian dimana mereka tinggal atau melanjutkan kehidupan.
MASALAH-MASALAH PELESTARIAN
Perkembangan tehnologi dengan segala pemanfaatannya tidak bisa dipungkiri di sisi lain mempunyai dampak buruk terhadap pelestarian. Mulai dari pembangunan, global warming, hingga banyaknya sampah industri maupun rumah tangga yang tidak dapat di daur ulang salah satunya.
1. PERGERAKAN GARIS PANTAI SELATAN
Proses terbentuknya pantai dengan pasir kiriman dari Merapi terjadi karena kekuatan ombak Samudera Indonesia yang cukup kuat dan berlangsung terus-menerus sepanjang waktu. Ada waktu periodik harian, bulanan, dan juga tahunan dimana ombak lebih tinggi dari biasanya.
Gunung Merapi secara konsisten aktif dengan erupsi kecil 4 tahunan serta erupsi besar 10 tahunan. Dengan material pasir pantai yang lembut dan tidak kokoh, abrasi setiap hari terjadi, namun ssetiap kali pula suplai pasir mengembalikannya, bahkan lebih banyak, dan sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu.

Namun sejak beberapa tahun belakangan, suplai pasir ini terhenti karena penambangan pasir di area hulu sungai Opak dan Progo.
Akibatnya adalah terkikisnya bibir pantai. Tercatat sejak tahun 2000an, garis pantai bergerak ke arah daratan lebih dari 50 meter. Hal ini juga diperparah dengan dampak pemanasan global yang meningkatkan ketinggian air laut serta dampak perubahan iklim lainnya seperti El Nino dan lain-lain.
Abrasi berpengaruh pada habitat penyu secara langsung. Induk penyu akan kesulitan mencari titik pembuatan sarang ketika kembali di musim migrasi tiap tahunnya karena perubahan bentuk dan kontur pantai.

nduk penyu akan mendarat dan berjalan ke titik ombak terakhir pada air pasang, dengan jarak kurang lebih 30 – 50 meter tergantung kemiringan pantai. Induk akan menggali pasir sedalam kurang lebih 40 cm untuk meletakkan telur-telurnya mulai 40an hingga lebih dari 150 butir telur. Secara alamiah telur akan menetas menjadi tukik anak penyu dan kemudian kembali masuk ke laut. Sekalipun mereka dapat mendarat dan membuat sarang, jika dalam jangka waktu tetas kurang lebih 51 hari sejak dipendam terjadi abrasi, maka telur-telur penyu akan terendam dan gagal tetas. Bahkan beberapa kali ditemukan telur penyu tersapu ombak dan masuk ke laut.
Peran dari ranger konservasi adalah memantau posisi sarang, dan jika berpotensi terkena abrasi maka akan dipindahkan ke rumah konservasi.
2. PERKEMBANGAN INFRASTRUKTUR DAN HUNIAN DAERAH PESISIR
Ledakan jumlah penduduk dunia terkonsentrasi di Asia Timur, Selatan, dan Tenggara. Sementara Jawa andil menjadi pulau terpadat di dunia dengan lebih dari 150 juta jiwa, dengan segela dampak pembangunannya.

Perkembangan bangunan infrastruktur dan hunian ke arah pantai meningkatkan aktifitas manusia ke pesisir, menggeser habitat perkembangan penyu. Gangguan dari aktifitas serta residu kehidupan manusia meningkat. Desakan area, lalu lalang manusia, penerangan pantai, limbah produksi, sampah rumah tangga, serta potensi gangguan fisik yang lain.
3. POLA TINGGAL PENDUDUK DI YOGYAKARTA
Dengan konsentrasi kepadatan di Jawa, serta daya tarik Yogyakarta yang menjadi kota pendidikan, budaya, dan wisata, berpengaruh pada pola tinggal. Sebagai daya dukung, kemudian juga menarik masyarakat di kota kecil sekitarnya untuk tinggal dan bekerja. Pelajar mahasiswa yang datang setiap tahun dan rata-rata hanya 4 tahun, ditambah dengan wisatawan yang hanya beberapa hari saja mendorong perilaku konsumsi makanan kemasan, perlengkapan, serta properti lain yang sifatnya instan dan tidak permanen.
Kultur yang heterogen juga beresiko terhadap kelestarian lingkungan. Setiap hari hampir selalu ada orang baru yang masuk ke Yogyakarta dan perlu diberi pemahaman tentang pengaruh kehidupannya terhadap eksisensi penyu dan kegiatan konservasi di pesisir selatan.
4. SAMPAH PLASTIK KIRIMAN
Selain kota besar yang lain Indonesia, Yogyakarta adalah konsumen produk sekali pakai terbanyak di Indonesia.

Pola tinggal sementara untuk perjalanan bisnis dan pendidikan serta pola tinggal kunjungan yang hanya beberapa hari saja mendorong konsumsi produk kemasan ataupun peralatan-peralatan sekali pakai dari plastik beserta pembungkusnya.
Di wilayah DI Yogyakarta sendiri, sampah plastik ini tidak bisa tertangani dengan baik seluruhnya. Sebagian besar sampah plastik menumpuk dan masuk ke sungai-sungai yang ada, dan menjadi satu di Opak dan Progo hingga akhirnya bermuara di laut selatan.
Sampah-sampah yang jumlahnya puluhan ton per tahun ini sebagian besar berada di perairan, dan sebagian kecil akan terbawa ombak ke pantai dan terpendam di hamparan pasir pesisir.
5. PELAKSANAAN DAN SISTEM HUKUM KONSERVASI
Berbicara tentang pelestarian lingkungan erat kaitannya dengan sistem kehidupan manusia secara menyeluruh. Hukum dan undang-undang yang secara khusus mengatur pelestarian lingkungan perlu diimbangi dengan tata kelola lini kehidupan yang lain karena semua saling terkait dan apapun itu kurang tertibnya pelaksanaan tata aturan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan.
Dibuatnya undang-undang masih selalu kalah cepat dengan perkembangan kehidupan manusia dengan segala baik buruknya. Semua hal pada akhirnya akan bermuara kepada lingkungan, terutama penyu di lautan. Tidak hanya fokus pada undang-undang pelestarian, tetapi hal-hal yang mengatur bidang lainnya seperti ijin produksi, tata kelola amdal, penggunaan plastik dan zat kimia, pertambangan, dan lain-lain perlu diperkuat menyesuaikan keadaan terkini.
Selain kegiatan harian, event publik yang diadakan KKP Mino Raharjo juga dimaksudkan untuk pengingat betapa pentingnya tertib hukum untuk pelestarian. Event ini juga memberikan masukan kepada generasi muda terutama akademisi agar turut serta mendampingi pelaksanaan hukum pelestarian sejak dini.
6. REGENERASI PELAKU PELESTARIAN

Hal yang paling sulit dalam kegiatan pelestarian adalah sosialisasi kepada generasi muda. Ada beberapa variabel yang membuat kegiatan konservasi tidak terlalu diminati.
Banyak variabel yang mempengaruhi, namun yang jelas keterbatasan informasi tentang eksistensi penyu di pantai selatan dan eksistensi KKP Mino Raharjo dengan segala kegiatannya adalah tanggung jawab semua pelaku pelestarian yang sudah memahami.
TUGAS POKOK RANGER KONSERVASI PENYU
Menjadi petugas atau ranger konservasi penyu, banyak hal yang harus dilakukan secara disiplin dan terus-menerus. Kegiatan pelestarian adalah hal yang tidak bisa dilakukan sekali saja, akan tetapi butuh konsistensi untuk menjaga kelangsungan kegiatan konservasi.
PENANGANAN, PENGAMANAN DAN PENYELAMATAN PENYU
Di setiap musim migrasi penyu, terutama pada sekitar bulan April sampai September, induk penyu berkumpul di perairan dangkal di selatan Bantul untuk mating atau melakukan perkawinan.

Penyu-penyu ini dari berbagai perairan di Indonesia, bahkan dari perairan Indonesia Timur, Australia, Filipina dan lain-lain, karena memang jangkauan teritorial mereka cukup jauh, bisa mencapai lebih dari 3000 mil.
Penyu betina kemudian akan mendarat di pesisir, dengan jarak sekitar 50 meter dari air, atau beberapa meter dari jangkauan ombak pasang terakhir. Mereka akan menggali pasir dengan kedalaman 40cm – 60cm, untuk kemudian bertelur dan dipendam untuk kemudian ditinggalkan kembali masuk ke laut.
Induk penyu dewasa muda sedikitnya berumur 25 tahun, dengan ukuran karapas 50 cm untuk penyu Lekang, dan bobot hingga 45 kilogram. Induk muda menghasilkan telur kurang lebih 50 butir dalam satu sarang. Sementara induk penyu tua bisa berumur sampai dengan lebih dari 150 tahun. Rekor jumlah telur dalam satu sarang yang direlokasi di Rumah Konservasi Penyu adalah 143 butir telur pada musim migrasi 2023 dan 152 butir telur pada musim migrasi 2024.
Dalam satu musim migrasi, satu induk penyu dapat mendarat bertelur hingga 2 kali. Hal ini akan berulang periodik antara 2 – 8 tahun untuk induk penyu yang sama. Penyu secara naluri akan menuju ke daratan dimana dia masuk laut pertama kali untuk melakukan perkawinan.
Induk penyu pada proses migrasi ini cukup rentan karena berbagai faktor. Perlindungan manusia sangat diperlukan terutama ketika berada di daratan.
- Perjalanan jauh menemui banyak rintangan, mulai dari serangan predator laut, gangguan kapal, perbedaan suhu dan iklim, pola makan, hingga terkurasnya energi.
- Proses ritual perkawinan di perairan dangkal sampai di akhir musim migrasi, seluruh induk penyu beserta tukik anak penyu yang menetas di awal berkumpul dalam satu area sampai nanti kembali mengarungi samudera. Berkumpulnya penyu-penyu ini rawan mengundang predator, dan seberapapun besarnya ukuran induk penyu, selalu ada predator dengan ukuran yang lebih besar. Terkonsentrasinya penyu dalam satu area juga bergantung pada ketersediaan cadangan makanan. Sementara perairan dangkal banyak terkontaminasi produk daratan, banyak induk penyu yang terluka atau mati karena menelan zat kimia ataupun sampah plastik. Penyu tidak bisa mengidentifikasi antara makanan ataupun sampah plastik.
- Penyu bergerak lincah ketika di air, akan tetapi ketika mendarat, penyu hanya mengandalkan pergerakan dengan menggunakan kaki siripnya. Berat induk penyu antara 40 kilogram sampai ratusan kilogram, apalagi ketika mendarat membawa ratusan telur di tubuhnya. Perjalanan menuju titik sarang dengan kemiringan dan kontur pasir juga cukup menguras energi. Apalagi induk penyu masih harus menggali, bertelur, dan memendamnya lagi. Tidak cukup satu, seringkali penyu membuat dummy nest atau sarang tipuan untuk mengecoh predator. Proses ini bisa berlangsung hingga sekitar satu jam, membuat induk penyu betina yang mendarat cukup lemah dan rawan, tidak dapat melindungi diri sendiri, apalagi telur-telurnya.
Berbagai ancaman terhadap induk penyu yang mendarat tersebut mengakibatkan beberapa kasus yang terjadi sehingga perlu berbagai penanganan diantaranya :
PENYU TERLUKA ATAU TERJERAT RINGAN

Gangguan ringan yang sering ditemui adalah jeratan benda asing di tubuh penyu. Sampah plastik, serat tumbuhan, ataupun menempelnya hewan laut di tubuh penyu. Penanganan terhadap kasus ini adalah membebaskan tubuh penyu dari gangguan benda asing.
Proses ini seringkali memerlukan bantuan alat dan perlu diperhatikan untuk tidak melukai tubuh penyu. Kemudian dilakukan pengecekan menyeluruh di tubuh penyu. Jika tidak ditemukan luka serius, penyu kembali dilepaskan menuju lautan.
PENYU TERLUKA SERIUS
Luka serius di tubuh penyu bisa diakibatkan dari gangguan predator laut, tertabrak atau menabrak benda produk manusia di laut, ataupun karena terjebak/terjerat benda asing dalam waktu yang lama.
Kategori luka serius dilihat dari terlihatnya daging lunak, perubahan warna/bentuk tubuh dari penyu, dan atau perubahan perilaku penyu yang jauh dari kebiasaan. Perlu dilakukan PPPK sampai dengan evakuasi penyu ke rumah konservasi. Lebih lanjut adalah pelaporan ke BKSDA atau DKP untuk mendapatkan penanganan medis yang lebih serius oleh petugas medis yang ditunjuk.
KEMATIAN PENYU
Perlakuan terhadap penyu yang mati lebih banyak ke penyelidikan. Misalnya dari pengamatan bentuk, warna, keadaan sekitar kejadian, dan lain-lain.

Untuk mencari tahu kisaran waktu kematian, apakah kejadian darat atau di dalam perairan, apakah karena kecelakaan, kesengajaan, predator, atau karena usia.
Sesekali juga dilakukan pembedahan untuk mengetahui apa yang ada isi perut dan apa yang terjadi pada organ dalam.
PENCURIAN DAN PERBURUAN PENYU
Dalam kesehariannya, upaya dari ranger konservasi adalah melakukan pencegahan. Hal ini dilakukan bersama-sama dengan divisi keamanan dari Desa Wisata Patihan dan OPD terkait.

Jika ditemukan kasus pencurian, perdagangan, atau usaha perburuan penyu, telur, serta upaya gangguan, ranger konservasi mempunyai kewenangan untuk penangkapan. Untuk pelaksanaan hukum dan penindakan, KKP Mino Raharjo menyerahkan kepada aparat terdekat.
Semua tindakan penanganan terhadap penyu dicatat dan didokumentasikan untuk kepentingan analisa, riset, dan laporan.
MEMAKSIMALKAN POTENSI TETAS DAN DAYA HIDUP TUKIK
Pada setiap musim migrasi, induk penyu meletakkan telur-telurnya di dalam pasir untuk kemudian induk penyu akan masuk kembali ke laut. Secara alamiah telur-telur ini akan menetas dalam waktu 51 hari untuk jenis penyu Lekang, dan berbeda kurang lebih untuk jenis penyu lainnya.
Setelah cukup waktu, tukik anak penyu akan menetas dan kemudian masuk ke laut. Akan tetapi banyak hal yang kemudian menjadikan jumlah tetas maupun daya hidup tukik menjadi rendah atau bahkan gagal tetas. Beberapa faktor yang menjadi penghambat kehidupan tukik penyu diantaranya:
PERGESERAN MUSIM

Normalnya, musim migrasi adalah di musim kemarau, atau sekitar bulan Mei sampai bulan September di setiap tahunnya. Akan tetapi sering kali ada satu dua sarang yang tiba di awal atau akhir musim migrasi. Efeknya adalah proses pengeraman terganggu oleh turunnya hujan. Suhu dan kelembaban yang tidak stabil serta pasir yang lebih basah mempengaruhi daya tetas telur penyu.
ANCAMAN ABRASI PANTAI
Pantai Goa Cemara secara geografis terletak persis di tengah-tengah dua sungai besar di DI Yogyakarta. Sungai Progo di sebelah barat, dan Sungai Opak di sebelah timur. Dua sungai ini membawa material erupsi dari Gunung Merapi hingga ke Samudera Indonesia. Sebagai salah satu gunung paling aktif di dunia yang secara periodik mengalami erupsi kecil setiap empat tahun sekali, dan erupsi besar setiap sepuluh tahun sekali. Lava dari muntahan erupsi Gunung Merapi kemudian terbawa oleh sungai-sungai kecil yang akhirnya bergabung di Sungai Progo dan Sungai Opak.
Pada saat sampai di lautan, material tersebut sudah berbentuk kerikil kecil dan pasir. Ombak kemudian menghempaskan material ini ke arah daratan, setiap hari, selama ratusan tahun. Membentuk hamparan pasir di sepanjang pantai selatan dengan ketebalan hingga 1200m sampai ke perkampungan.

Ombak di Samudera Indonesia cukup kuat, terbilang besar setiap waktu, dengan ketinggian antara 1,5 hingga 7 meter. Hal ini juga dipengaruhi dengan ketinggian dan intentisas ombak periodik setiap hari di waktu malam, periodik bulanan di bulan purnama, periodik musim, dan juga beberapa periodik tahunan. Ditambah juga dengan fenomena cuaca seperti El Nino dan pemanasan global yang membuat ketinggian air laut meningkat.
Intinya adalah bahwa pada dasarnya ombak setiap hari ada dan mengikis pasir pesisir, namun selalu kembali dan membawa material yang lebih banyak, selama ratusan tahun, hingga membentuk jajaran pantai pasir di Yogyakarta. Meski hal ini terjadi hanya sampai akhir milenium kedua.

Pasir yang melimpah juga dimanfaatkan masyarakat sepanjang bantaran sungai untuk ditambang secara tradisional untuk kemudian dijual sebagai bahan bangunan. Tercatat sampai dengan tahun 1992 garis pantai selatan masih stabil, meskipun sudah tidak ada pergerakan penambahan ke arah laut.
Namun mendekati tahun 2000, abrasi mulai terlihat. Beberapa gumuk dan pepohonan di sepanjang pantai mulai tergerus ombak. Hal ini kemudian diperparah dengan penggunaan alat tambang bermesin, seperti mesin sedot hingga alat berat. Dalam 25 tahun terakhir, garis pantai sudah bergeser ke arah daratan sejauh kurang lebih 100 meter, dan terus bergerak.
Ancaman pergerakan karena abrasi ini terhadap proses perkembang biakan penyu cukup banyak dan sampai pada titik krisis, diantaranya :
- Perubahan material pasir pantai dengan tidak adanya material kiriman, membuat kontur pantai berubah, termasuk tingkat kelandaian dan tingkat kelembutan pasir mempersulit pemilihan lokasi sarang induk penyu.
- Pengikisan pasir terutama di Gunungkidul dan Bantul bagian timur serta di Kulon Progo bagian barat memunculkan karang sehingga menyulitkan jalur pendaratan.
- Telur penyu membutuhkan waktu kurang lebih 50 hari untuk menetas tergantung jenis penyu. Dipendam dengan jarak sekitar 50 meter dan kedalaman 40 cm hingga 60 cm. Sehingga jika abrasi sangat mungkin telur penyu akan terendam dan gagal tetas atau bahkan hanyut terbawa ke laut sebelum menetas.
PEMBURU DAN PREDATOR
Sebagai makhluk, penyu juga menjadi bagian dari rantai makanan. Bahkan penyu mempunyai tingkat resiko yang lebih tinggi, karena selain sebagai penjelajah, penyu juga memerlukan naik ke daratan dalam siklus hidupnya. Hewan apapun di lautan yang ukurannya lebih besar berpotensi menjadi pemangsa penyu, terutama ketika masih tukik atau penyu kecil, karena karapas atau batok pelindung penyu baru akan keras berfungsi efektif ketika penyu berumur lebih dari 5 tahun. Ketika di daratan, tidak hanya induk penyu saja yang terancam perburuan. Telur-telur penyu maupun tukik anak penyu menjadi sasaran empuk oleh hewan buas di daratan, karena memang posisinya yang tidak bergerak. Bau amis dari telur maupun tukik juga menarik pemangsa.

Khususnya induk dan telur penyu, ancaman perburuan juga datang dari manusia. Meskipun, di wilayah zona konservasi Pantai Goa Cemara sudah tidak pernah terjadi kasus perburuan telur semenjak disosialisasikannya undang-undang pelestarian.
Tukik penyu yang baru saja menetas juga sangatlah rentan, karena mereka masih membawa kuning telur sebagai cadangan makanan. Selain belum lincah bergerak, kuning telur di bagian perut tukik juga rawan pecah tergerus pasir ketika menuju ke laut. Tidak hanya memancing pemangsa darat seperti anjing, kucing, dan sebagainya, tukik-tukik yang bergerombol juga menarik perhatian burung pemangsa. Belum lagi ketika masuk ke dalam lautan, tukik-tukik ini ibarat seperti umpan kail yang siap dimakan ikan apa saja yang ukurannya lebih besar.
SAMPAH KIRIMAN DARI KOTA
Keberadaan sampah terutama plastik di laut dangkal dan pesisir terutama yang terpendam di pasir sangat mengganggu proses perkembang biakan penyu,
- Sampah plastik di pesisir mengganggu induk penyu dalam menentukan lokasi penggalian sarang. Tak hanya kesulitan mencari titik sarang yang ideal, sampah juga mengganggu proses penggalian. Tak jarang juga ditemukan sampah baik plastik maupun botol kaca yang didalamnya mengandung zat beracun, baik itu kimia atau isi produk kemasan yang membusuk. Sampah di darat ini juga menyulitkan atau bahkan menjebak tukik penyu ketika menetas dan menuju ke laut.
- Posisi sampah yang terpendam di dalam pasir selain menyulitkan penggalian sarang oleh induk penyu, kandungan di dalamnya merusak pasir. Bahan pembungkus ataupun isiannya yang bermacam-macam menjadikan sarang terkontaminasi racun. Pun ketika tukik penyu sudah menetas, secara alamiah dia akan bergerak ke permukaan. Tak jarang pergerakan ini terganggu oleh sesobek kecil plastik, sehingga tukik tidak bisa naik dan bernafas. Rata-rata pergerakan ini adalah di malam hari, dan ketiga gagal naik sampai di keesokan harinya, tukik-tukik ini akan mati terjemur di bawah pasir. Satu tukik yang mati, dalam beberapa hari akan menjadi amonia atau nitrogen yang akan meracuni ratusan tukik lainnya dalam satu sarang.
- Sampah plastik di perairan lebih buruk lagi akibatnya, selain tak terkendali dan tak terhitung jumlahnya, bentuknya bermacam-macam. Tak hanya mikro plastik saja, plastik kecil dan besar baik yang mengambang maupun di dasar laut tidak bisa dikontrol. Sampah ini menjadi pembunuh tukik dan bahkan induk penyu akibat termakan dan juga menjerat atau menjebak penyu. Sampah di dasar juga mempengaruhi habitat sementara penyu di perairan dangkal.
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI PESISIR

Jumlah penduduk dunia semakin meningkat, dengan lebih dari separuhnya berpusat di Asia Tenggara. Indonesia menyumbang 270 juta jiwa, dan terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk lebih dari 150 juta jiwa.
Perkembangan jumlah penduduk tersebut kemudian memicu perluasan lahan untuk aktifitas dan hunian. Selain bangunan tempat tinggal, sarana prasarana pendukung juga semakin mendesak habitat hewan liar, termasuk penyu. Dampak dari pembangunan dan aktifitas di pesisir terhadap penyu antara lain :